Powered By Blogger

Senin, 13 Desember 2010

catatan kecil: penulis kecil

tanganku berkakuan
enggan menggenggam matapena,
malapetaka apa ini
adakah ia abadi.

kertas bertebaran menutupi
indera akan daya penciptaan
serupa menampar matahari keluh
tangan melepuh, panas memecut.

kepada para pejalan kaki
ajarilah aku menulis sajak, sekali lagi
agar dapat ku hiasi langit dengan tinta berpelangi.

ungke
kolaka 2010

catatan kecil: rakyat kecil

hanya begini saja kemampuanku
:ingin melampaui pencapaian
matahati tentang matahari
tapi tetap tidak tergenapkan.

tinggi angan menembang
tentang langit,
tentang bumi,
tentang hati,
semuanya kosong
tembang tak kesampaian.

ku ingin benam saja di pantai senja
kota tua
agar lupa segala pencapaian
pun kemampuan.

ungke
kolaka 14 desember 2010

catatan kecil: pesta perayaan

kata-kata bertebaran
memenuhi tiap inci ruangan
:selamat.

sedang di tengah itu semua
aku tetap pengamen.

ungke
kolaka 12 desember 2010

catatan kecil: pejalan kaki

lampu-lampu telah padam
jalanan sepi
hati mati
dibangku laron-laron terlelap.

gontay langkah menuju pulang
tinggalkan pesta perayaan kematian nurani
ah,
ada angin menangis
ditrotoar repertoar anak-anak negri.

pada jasad yang berselimut nyanyian jalanan
ijinkan aku melintasi ini persimpangan
agar dapat langkah menggenapkan
apa yang telah terbuang dari sejarah.

ungke
kolaka 9 desember 2010

catatan kecil: pengamen untuk dia

mungkin sepi ini saja yang ku sapa
sebab dari awal tiada siap-siapa
bahkan detak jam di rumahmu sampai juga membunuhku.

hanya dua helai daun saja yang masih setia berpelukan
menyatukan rasa dalam laksa kerinduan
seolah mengajarkan arti setia pada angin yang menggugurkan
mereka dalam peraduan
:jika kau bukan di ambil dari iga ku,
mengapa ada sakit terasa.

ah,
terasa hari akan gelap
sebentar lagi kau pasti akan lewat
lalu menatap iba pada ku
:menanti begitu lama demi tatapan itu
hah, ada yang lebih indah dari apa yang kulakukan?

ungke
kolaka 2o1o

catatan kecil: aku untuk dunia

semalam dalam tumpukan buku
menjauhkan jaga akhir pekan nan pekat,
bergemuruh dilangit ada duka tercatat.

hanya ada tumpukan semangat dalam tiap helai
kertas mengusang nanar gambar-gambar detik berlari
seolah takut tertangkap usia penghabisan
serupa tegar dalam selarik kata
"siapakah aku"

diluar langit masih menyirami akhir pekan
seolah hidup adalah basah,
curah saja dikertas berpenanggalan ini
agar helas semangat membumi dalam sunyi
"harga sebagia aku telah terjawab"

lelah,
berbaring sajalah pada tumpukan buku usang
biar langit yang mencatat aku yang telanjang


ungke
kolaka
minggu dini hari 2010

romansa yang membatu

waktu yang membatu dari sisi waktu
menyisakan sedikit romansa dalam rindu.

perempuan bermata laut
dimanakah karamnya tiara hatimu
adakah badai mendamparkannya
di bibir kerentaan usia sia-sia,
atau purnama telah menuntunnya
pada keremajaan dia yang namanya sering kau bisikan
pada layar peraduan malam lalu.

waktu yang membatu dari sisi waktu
merebahkan seluruh keromantisan di kaki bulan kaku

ungke
kolaka 2010

di pagi yang perawan

tumpukan gelas masih kotor
sisa perbincangan semalam
yang melahirkan resah paling diam
dalam guguran lelah alam,
masih ada embun merimbun
di pucuk rambut pagi yang perawan
di ladang ranum kata
di semak-semak mimpi berita
di belantara kebohongan belaka.

telanjanglah serupa kelahiran pertama
sebab kemurnian bukanlah kemaluan
yang banyak terjumpai di alun-alun
kepalsuan pun kemunafikan,
tanggalkan saja pakaian itu
agar alam dapat melukis kejujuran
direlief leku-lekuk waktu
yang akan terlunaskan
ketika mati memeluk hidup.

pagi yang perawan
biarkanlah segala kejujuran
mengucur dari rimbunya embun
di pucuk rambutmu.

ungke
kolaka-10-6-2010.

Kamis, 18 November 2010

foto di dinding kamarku

ibu..
jika nanti terbangun dengan bapak di sisiku,
tolong hentikanlah waktu agar dapat kulukis wajahnya
dalam usia yang serupa senja.

pak..
lupakah jalan pulangnya?

kak..
jangan pernah melepas tanganku
sebab jemarimu menyusupkan sejuk embun hati.

dik..
luapkanlah air matamu
dadaku masih sanggup menampung selaut duka.

semoga esok
matahari masih ada untuk kita

ungke
kolaka 2010

wassalam

"pulanglah pada langit"
           maaf,
aku hanya bisa menyapamu melalui kata yang di bingkai oleh hujan
sedang di tengah itu semua keresahan
mengaliri pijakan kaki para pejalan.

ungke
kolaka 2010

jika nanti dia tidak pulang

jika nanti dia tidak pulang
kuncilah pintu itu serapat mungkin
agar angin tiada membawa aroma nafasnya yang tinggal sisa,
kabarkan pula pada merapi agar menjaganya
sebab telah lelah menyaring abu abdian.

jika nanti dia tidak pulang
yakinlah perjalanan telah usai tertempuh,
jemputlah nama yang terbingkai senyum dingin dari dia.


ungke
kolaka 2010

Sabtu, 28 Agustus 2010

siapa mengutuk siapa

dari sepi yang merangkul pagi
kita menepi sejenak
menyulam embun basah serupa selimut tak kasat mata,
membaringkan penat perjalanan angan-angan
dihamparan hijau kata-kata.

kita tak mau beranjak dari ini
sebab disana kedamaian membumbung
serupa asap mesiu dari purba peperangan,
serupa peluru tak bermata mendekap bayi tak berdosa.

"siapa mengutuk siapa"

menatap tubuh bermakam puing-puing,
menggenggam nisan berhulu ledak,
memijak tanah basah,darah.

"siapa mengutuk siapa"

dari sepi yang merangkul pagi
setet embun resap senyap membawa kata-kata kita
tentang kedamaian kejantung bumi doa-doa.

kolaka

gadis kecil

(senja mengadu senjata
jalanan basah renta rata).

pisang goreng,
teriakan itu pecah dari karang
menuju medan perang,
tubuh mungill
semangat kecil
hidup pun dicicil.

(senja pun pulang,
perang telah tergenapkan).

pisang goreng,
masih saja bahkan lebih ini kali,
memenuhi jalan-jalan
di tiap sudut sepi sendi kehidupan,
tiada balas
semua malas
meski memelas.

(senja telah lelap,
berselimutkan mimpi perang esok).

pisang goreng.
tiada lagi, hanya angin dingin
yang menyanyikan tubuh mungil pun bakiak kosong,
"ibu, hari ini cuma laku satu"


ungke.
kolaka 2010.

kawan :kupukupu

kumpulan kupu-kupu sajak
beterbangan digumpalan kata-kata bijak,
membiru berburu, tergesa gegas:lautan masih juga berbiru.

satu janji jadilah tertepati
seperti pinta kawan pada purba hari.

sebiru kupu-kupumu,
seribu kata-kata menunggu.

ungke
kolaka, dini hari
2010.

kota tua :kolaka

malam yang kesekian:bulan murung.
ah.bintang itu hinggap di ranting kering,
ada juga dinding embun mesra mengusap kaca jendela yang retak bening.

kulukis saja wajah mempelai malam
yang tercipta dari renta tangan alam
sembari kukenangkan lagi perang kata kita,
"akhirnya kota tua itu basah juga"
kata itu selalu kau ucap hingga menjelma mata pena
yang menuntaskan lukisan ku.

malam yang kesekian:bulan murung.
kunamakan saja kota tua itu kolaka.

kolaka 16 mei 2010

bila esok :ibu

bila esok senja masih ada
akan kubasuh tiap dosa ditelapak kaki purbamu,
sebab setiap doa-doa malaikat selalu bermuara
ditiap rekahnya.

bila esok senja masih ada
akan ku lukis seribu wajahmu
ditujuh tingkap langit biru,
bertintakan puja-puja pun pena lakuan santun.

bila esok senja memelukmu
akan ku sapa dia dengan senyum yang kau ajarkan,
sebab telah digariskan dalam kalam keyakinan
bahwa "aku mencintainya maka aku memanggilnya.


kolaka 19 mei 2010

sama-sama menghitung hujan

ku duduk saja malam ini
di meja yang sarat warna janji
kemarin.

kadang detak jam di kamar pun menyatu
dalam sampul bukumu
:aku ini binatang jalang.
apakah ke jalangan itu yang menahanmu kemarin?
membiarkan beku merayu tubuh
mengajari diri menghitung hujan.

ku minta saja malam ini
hujan mengajari mu menghitung pula
agar lunas janji
kemarin.


ungke
kolaka 2010

Minggu, 22 Agustus 2010

Jumat, 20 Agustus 2010

renungan sang adam

perempuan
setiap aku menatap awan
selalu wajah-wajah kumuh ternampakkan,
satu memelas lain melengus
seolah hilang hunian kemurnian hati.

perempuan
peradaban mungkin mengawan
serupa restu seorang brohmocora
pada penghuni gedung-gedung penyangga langit,
satu perkasa lain berkuasa
tetap saja menggenggam angin.

perempuan
padamulah segalanya kembali
pada kesucian yang terwariskan
ketika kau menerima sebelah rusuk
lelaki ini.


kolaka 23 mei

yang sujud subuh itu

dengan subuh yang bernyanyi di lafas adzan
syahdu sujud pada khusyuk keimanan
semesta merendah menadah berkah yang curah
serupa embun mengemilau di biji tasbih.

ah.
malaikat mencatat tiap jengkal langkah kaki
para pencari keridhoan :adakah langkah ku juga?
gigil pun memeluk meresapkan satu amalan di tiap kita
yang menutup pintu rumah
membuka pintu surga.

kita berwudhlukan tetes embun
lantas merapatkan barisan menuju padang penyerahan diri
sembari berharap menatap wajah sang khalik.


kolaka 24 mei.

menyenangkan mu

Kata-kata beterbangan menembus puncak malam yang kita jaga bersama
Seperti embun menjaga mimpi kembaraan waktu bergesa.

Ketika kau memintaku melukis bulan itu
Seketika seluruh alam terbangun menyatu
Suara sekumpulan bintang yang entah tersenyum atau termangu
“perlihatkan padaku lukisanmu
Agar dapat pula bulan menjadi cahaya mata
yang lama meninggalkan penglihatanku”.

kita tersenyum menggenggam kertas kosong,
kau sebelah
aku sebelah.

monoton

setiap hari terbangunkan oleh matahari yang sama
seolah hidup hanya berjalan di satu hari pertama.

kepala angin
tangan angin
hampa atas segala
ingin enyah saja.

menatap segala yang berlalu laju
menetap diri di sini hingga mati kaku
memanjati waktu
menangkap angin
mensejahterakan kebodohan
menanamkan kekurangan pada badan.

ingin ku teriak memecahkan matahari itu
biar gelap saja sekalian
:ah. matahari itu bangunkan ku lagi ini pagi.

hujan hujat

hujan hujat mengguyur bumi
ku kuyup memeluk lutut dalam ke sendirian yang ramai
:pembual,
ku tampung saja sekalian biar puas segala hati
:picik,
peras saja langit agar curah seribu hujat,
atau doakan saja biar banjir menghanyutkan
gubuk yang pernah juga kalian singgahi dalam pencarian.

begitu kerdil ku dari kalian yang besar
serupa titik kata dari kumpulan kalimat.

tiada yang mengharapkan hujan hujat
bahkan petani tebu sekalian,
tapi hujan tetaplah hujan
yang akan turun meski kita tidur dibalik kebodohan yang memalukan
:memilukan.

semua ingin di sanjung: entah dengan ku
sebab telah ditakdirkan
tulisan yang lahir dari jemari ini adalah lagu
penampung hujan hujat
bukan penampung sanjungan.

menuju bijak

pernah sekali kau bertanya
"mengapa harus mengamen"
ku jawab sambil senyum
"sebab telah menjadi cita-cita"
kau pun pergi dalam diam.

sekali ini lagi kau bertanya
"mengapa masih mengamen"
sekali lagi ku jawab sambil senyum
"sebab aku bukan kau, apa lagi mereka"
kau pun pergi sambil tertawa.



kolaka-2008

perjalanan mu :ari

hidup yang jelang pada hujan pertama,
hilang pada kaki senja
:betapa singkatnya.


kolaka.

yang gila, yang bijak

sepi saja sekalian ini pagi:
embun masih malu di pucuk nisan
demikian pula dia yang gila
masih memaksa diri lari dari mimpi
yang ku titipkan dari kaki-kaki malam.

segelas kopi telah tandas
hanya ampas waktu saja yang tersisa,
dia yang gila menggeliat menerbangkan burung-burung kata
ke sebuah nisan yang di bawahnya
kewarasan istirah tidak damai, sebab belum melunaskan usianya.

ku tatap lagi dia yang gila
lebih lekat
lebih dalam
sebelum tersadar bahwa
dia lebih bijak dariku dan segala yang waras.

ah.
matahari telah bangun
ku sapa saja sekalian
:selamat pagi kawan,
datangmu ku nanti
demi bangunnya dia yang gila,
demi damainya istirah kewarasan
pun kicaunya burung-burung kata.


kolaka-2010.

di pagi yang perawan

tumpukan gelas masih kotor
sisa perbincangan semalam
yang melahirkan resah paling diam
dalam guguran lelah alam,
masih ada embun merimbun
di pucuk rambut pagi yang perawan
di ladang ranum kata
di semak-semak mimpi berita
di belantara kebohongan belaka.

telanjanglah serupa kelahiran pertama
sebab kemurnian bukanlah kemaluan
yang banyak terjumpai di alun-alun
kepalsuan pun kemunafikan,
tanggalkan saja pakaian itu
agar alam dapat melukis kejujuran
direlief leku-lekuk waktu
yang akan terlunaskan
ketika mati memeluk hidup.

pagi yang perawan
biarkanlah segala kejujuran
mengucur dari rimbunya embun
di pucuk rambutmu.

kolaka-10-6-2010.

pada akhirnya

Pada akhirnya
langitlah yang akan memberi harga pada kita
sebab sebumi bukanlah pengadil
melainkan penyaksi.

Selangit sudah makna menebar
sebumi pula jasad kata terbujur,
semua menyepi sekalian menepi
demi matahari yang menuju mati.

Pada akhirnya
langit gelap melahap kita
ketika bumi mendengkur dalam taffakur
:bukan meraung.

Dilangit
makna menjelma bayangan
dibumi
kata serupa hantu gentayangan.

Lalu dimana sajak akan kita tujukan
sementara, tidur yang sesungguhnya
telah memberat di pelupuk.


kolaka-2010

merenungi pagi kemarin

terdengar suara pagi
mendedah embun bening
dari serabut urat jalar indera diri
yang masih semedi di rimbun onak mimpi.

ini kali kisahnya lirih,
serupa deru tumbangan pohon-pohon
yang lama menghijaui paru-paru leluhur.

ada daun berkisah
:semalam
keriangan angin masih membelai mu kekasih
menerbangkan salam gesekan mesra ketelinga
sepasang bajing yang lelap tidur di pangkuanku,
ah,
kau begitu pintar menyusun nada-nada angin.

ada ranting berkisah
:sepagi ini
dingin aliran air tajam membasuh wajah
kerinduan ku pada kekasih
pun mengantar potongan-potongan utuh kayu
menuju gerigi besi yang menghantar mereka ke istirah terakhir,
ah,
aku ada di antara mereka.

terdengar suara pagi
membentak penghuni alam
agar bangun memberi kesaksian
tapi semalam semua tertidur, tak ada yang menyaksikan.


ungke
kolaka-2010

DOKUMENTASI PUNCAK PUISI

Teater Kolaka
Pentas PROSELAMAT di ged. Teater Mini Teater Sendiri Kendari
Taman Budaya Prov.SULTRA





Iwan Konawe | Baca Puisi di Proselamat Teater Sendiri




Ungke | pentas Happening Art di Kolaka


Inilah Malam

inilah malam

inilah malam,
aku berdiri di ketinggian dermaga kolaka;
selantang-lantangnya menyerumu
menyeruak kedalam sajak-sajakku

(ikal rambutmu dan layar-layar sampan
tersapu desahan angin larut. kian malam
kaupun menyisahkan bayang kelam
tenggelam di ujung tanjung)

seperti sepasang kuda bone
kemarin ringkikan kita menyulut pertempuran;
pertempuran cinta, di kandang tak berjerami.
selama semusim hujan gerimis kita berperang
dalam pelukan dingin dan juga gelisahmu yang meraung.

inilah malam,
seperti sampan dan dermaga
dipisahkan waktu dan nahkoda

penghujung dari tatapan kita.


kolaka, agustus 2007

Pelabuhan Kolaka

pelabuhan kolaka

jam dua dini hari, bersandarlah rindu di bantalan dermaga;
aroma bawang merah, kol, telur ayam dari barisan truk-truk pagi
juga bau laut kiriman angin teluk bone
bergegas merebak di dinding karatan fery
dilalangan penumpang gusar dan bahagia

seperti membuang sajen ke riak-riak, sauh pun
ditandaskan ke palung dermaga. orang-orang
ikutan pula melarungkan masa lalu; dingin malam
lalu melukis suka cita mereka di pendaran merkuri dan
membingkainya di tepi-tepi rumah adat mekongga

kolaka, agustus 2007

Kau Masih Bernyanyi

kau masih bernyanyi

kau masih bernyanyi, ketika aku bilang diam! ketika lagumu
menyendu menyelinap di sela jelajah-jelajah rumah kita
yang sudah menjadi angan – tempo lalu ia rubuh dan telah menjadi abu masa lalu.

aku tahu, wara-wiri dan syairmu sumbang, meski begitu
kau sambung juga dengung-dengung tembang sua-sua dan mo’anggo; sekedar
berhibur sendiri, membeli kembali lenyapan yang sudah buyar dan pupur.

ketika aku bilang diam! ada kristal di matamu – itu menjadi telaga air mata wajahmu;
kuselami telaga itu hingga ke palung matamu tanpa kerlingan. di sana kutemukan kalbumu bergetir, meronta merona seolah ia akan mengiris dadaku pula, lalu membiarkanmu
berketerusan bernyanyi, seperti melaknat mereka yang telah menyebabkan rumah kita
menyisa puingan arang dan abu dari bara. cinta


kolaka, agustus 2007